Rangkuman Tulisan 5-8 Softskill Bulan Kedua
- Definisi
Cyber
Law adalah aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek
yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada
saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyberlaw dapat
juga di katakan hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya),
yang umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan
karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah "ruang
dan waktu". Sementara itu, Internet dan jaringan komputer
mendobrak batas ruang dan waktu ini .Cyber Law sendiri merupakan
istilah yang berasal dari Cyberspace Law.
- Ruang Lingkup
Menurut
Jonathan Rosenoer dalam Cyber Law – The Law Of Internet menyebutkan
ruang lingkup cyber law :
- Hak Cipta (Copy Right)
- Hak Merk (Trademark)
- Pencemaran nama baik (Defamation)
- Hate Speech
- Hacking, Viruses, Illegal Access
- Regulation Internet Resource
- Privacy
- Duty Care
- Criminal Liability
- Procedural Issues (Jurisdiction, Investigation, Evidence, etc)
- Electronic Contract
- Pornography
- Robbery
- Consumer Protection E-Commerce, E- Government
- Topik-Topik
Secara
garis besar ada lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
- Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
- On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
- Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
- Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.
- Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.
- Asas-Asas
Dalam
kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas
yang biasa digunakan, yaitu :
- Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
- Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
- Nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
- Passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
- Protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
- Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.
- Council of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)
Council
of Europe Convention on Cyber crime telah diselenggarakan pada
tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi ini
telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam
European Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku
secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara,
termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara
anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang
cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy)
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik
melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
Hal
ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin
meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi
yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman
dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini
dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut
:
Pertama,
bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar
Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya
kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan
pengembangan teknologi informasi.
Kedua,
Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem,
jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal
lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses
penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik
melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya
dan cepat.
Ketiga,
saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu
kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia
sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi
Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak
Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat
seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari,
menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi
ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang
terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini
dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional
dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap
individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam
pengembangan teknologi informasi.
- Computer Crime Act (Malaysia)
Cybercrime
merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah menggunakan
computer dalam jaringan internet yang merugikan dan menimbulkan
kerusakan pada jaringan computer internet, yaitu merusak property,
masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi,
pemalsuan data, pencurian penggelapan dana masyarakat.
Cyber
Law diasosiasikan dengan media internet yang merupakan aspek hukum
dengan ruang lingkup yang disetiap aspeknya berhubungan dnegan
manusia dengan memanfaatkan teknologi internet.
a. Ciptaan
Yang Dilindungi
Pasal
12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
menetapkan secara rinci ciptaan yang dapat dilindungi, yaitu :
- Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.
- Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan
- Lagu atau musik dengan atau tanpa teks
- Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime
- Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan, Arsitektur, Peta, Seni batik, Fotografi, Sinematografi
- Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.
b. Ciptaan
Yang Tidak Diberi Hak CiptaSebagai
Pengecualian Terhadap Ketentuan Di Atas, Tidak Diberikan Hak Cipta
Untuk Hal - Hal Berikut :
- Hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara
- Peraturan perundang-undangan
- Pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah
- Putusan pengadilan atau penetapan hakim
- Keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
BENTUK
DAN LAMA PERLINDUNGAN
Bentuk perlindungan yang diberikan meliputi larangan bagi siapa saja untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang dilindungi tersebut kecuali dengan seijin Pemegang Hak Cipta. Jangka waktu perlindungan Hak Cipta pada umumnya berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Namun demikian, pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta atas Ciptaan :
Bentuk perlindungan yang diberikan meliputi larangan bagi siapa saja untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang dilindungi tersebut kecuali dengan seijin Pemegang Hak Cipta. Jangka waktu perlindungan Hak Cipta pada umumnya berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Namun demikian, pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta atas Ciptaan :
- Program computer
- Sinematografi
- Fotografi
- Database
- Karya hasil pengalih wujud dan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
PELANGGARAN DAN SANKSI
Dengan Menyebut / Mencantumkan Sumbernya, Tidak Dianggap Sebagai Pelanggaran Hak Cipta Atas :
- Penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
- Pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan.
- Pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
- Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
- Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial.
- Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya: perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan : pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
- Menurut Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta, bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar Hak Cipta orang lain dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Selain itu, beberapa sanksi lainnya adalah:
Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta dipidana dengan dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). - Memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
PENDAFTARAN
HAK CIPTA
- Permohonan pendaftaran merek diajukan dengan cara mengisi formulir yang telah disediakan untuk itu dalam bahasa Indonesia dan diketik rangkap 4 (empat);
- Pemohon wajib melampirkan:
- Surat pernyataan di atas kertas bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pemohon (bukan kuasanya), yang menyatakan bahwa merek yang dimohonkan adalah miliknya;
- surat kuasa khusus, apabila permohonan pendaftaran diajukan melalui kuasa;
- salinan resmi akte pendirian badan hukum atau fotokopinya yang dilegalisir oleh notaris, apabila pemohon badan hukum;
- 24 lembar etiket merek (4 lembar dilekatkan pada formulir) yang dicetak di atas kertas;
- bukti prioritas asli dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, apabila permohonan diajukan menggunakan hak prioritas;
- fotokopi kartu tanda penduduk pemohon;
bukti pembayaran biaya permohonan.
Didalam
UU No. 36 telekomunikasi berisikan sembilan bab yang mengatur hal-hal
berikut ini; Azas dan tujuan telekomunikasi, pembinaaan,
penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sanksi administrasi,
ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
Undang-Undang ini dibuat untuk menggantikan UU No.3 Tahun 1989
tentang Telekomunikasi, karena diperlukan penataan dan pengaturan
kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional yang dimana semua
ketentuan itu telah di setujuin oleh DPRRI.
UU ini dibuat karena ada beberapa alasan, salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi.
Dengan munculnya undang-undang tersebut membuat banyak terjadinya perubahan dalam dunia telekomunikasi, antara lain :
1.Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.Perkembangan teknologi yang sangat pesat tidak hanya terbatas pada lingkup telekomunikasi itu saja, maleinkan sudah berkembang pada TI.
3.Perkembangan teknologi telekomunikasi di tuntut untuk mengikuti norma dan kebijaksanaan yang ada di Indonesia.
Apakah ada keterbatasan yang dituangkan dalam UU no.36 Telekomunikasi tersebut dalam hal mengatur penggunaan teknologi Informasi. Maka berdasarkan isi dari UU tersebut tidak ada penjelasan mengenai batasan-batasan yang mengatur secara spesifik dalam penggunaan teknologi informasi tersebut, artinya dalan UU tersebut tidak ada peraturan yang secara resmi dapat membatasi penggunaan teknologi komunikasi ini. Namun akan lain ceritanya jika kita mencoba mencari batasan-batasan dalam penggunaan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual, maka hal tersebut diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama BAB VII tentang Perbuatan yang Dilarang. Untuk itu kita sebagai pengguna teknologi informasi dan komunikasi harus lebih bijak dan berhati-hati lagi dalam memanfaatkan teknologi ini dengan memperhatikan peraturan dan norma yang ada.
UU ini dibuat karena ada beberapa alasan, salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi.
Dengan munculnya undang-undang tersebut membuat banyak terjadinya perubahan dalam dunia telekomunikasi, antara lain :
1.Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.Perkembangan teknologi yang sangat pesat tidak hanya terbatas pada lingkup telekomunikasi itu saja, maleinkan sudah berkembang pada TI.
3.Perkembangan teknologi telekomunikasi di tuntut untuk mengikuti norma dan kebijaksanaan yang ada di Indonesia.
Apakah ada keterbatasan yang dituangkan dalam UU no.36 Telekomunikasi tersebut dalam hal mengatur penggunaan teknologi Informasi. Maka berdasarkan isi dari UU tersebut tidak ada penjelasan mengenai batasan-batasan yang mengatur secara spesifik dalam penggunaan teknologi informasi tersebut, artinya dalan UU tersebut tidak ada peraturan yang secara resmi dapat membatasi penggunaan teknologi komunikasi ini. Namun akan lain ceritanya jika kita mencoba mencari batasan-batasan dalam penggunaan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual, maka hal tersebut diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama BAB VII tentang Perbuatan yang Dilarang. Untuk itu kita sebagai pengguna teknologi informasi dan komunikasi harus lebih bijak dan berhati-hati lagi dalam memanfaatkan teknologi ini dengan memperhatikan peraturan dan norma yang ada.
Kemajuan
spektakuler di bidang teknologi komputer berupa internet berdampak
besar pada globalisasi informasi yang menjadi pilar utama perdagangan
dan bisnis internasional. Teknologi informasi selalu menghadapi
tantangan baru dan selalu ada sesuatu hal baru yang perlu dpelajari
agar bisa menjawab tantangan baru yang selalu mucul dalam kurun waktu
yang sangat cepat.
Hukum
lahir menyertai perkembangan masyarakat untuk menjamin adanya
ketentraman hidup bermasyarakat. Demikian halnya dengan hukum
perdangangan internasional yang berbasis teknologi informasi, setiap
transaksi elektronik perlu diatur dalam suatu peraturan
perundang-undangan yang baru yaitu UU Informasi dan Transaksi
Elektronik Np. 11 tahun 2008.
Pokok
pikiran dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terdapat
dalam pasal – pasal di bawah ini :
- Pasal 8 Pengakuan Informasi Elektronik
- Pasal 9 Bentuk Tertulis
- Pasal 10 Tanda tangan
- Pasal 11 Bentuk Asli & Salinan
- Pasal 12 Catatan Elektronik
- Pasal 13 Pernyataan dan Pengumuman Elektronik
TRANSAKSI
ELEKTRONIK terdapat dalam Pasal-pasal berikut ini :
- Pasal 14 Pembentukan Kontrak
- Pasal 15 Pengiriman dan Penerimaan Pesan
- Pasal 16 Syarat Transaksi
- Pasal 17 Kesalahan Transkasi
- Pasal 18 Pengakuan Penerimaan
- Pasal 19 Waktu dan lokasi pengiriman dan penerimaan pesan
- Pasal 20 Notarisasi, Pengakuan dan Pemeriksaan
- Pasal 21 Catatan Yang Dapat Dipindahtangankan
Dari
Pasal – pasal diatas, semua adalah yang mencakup di dalam Rancangan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Segala aspek
yang diterapkan dalam perdagangan dan pemberian informasi melalui
Elektronik sudah dijelaskan dalam pokok pikiran RUU tersebut.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment